TAHLILAN, ANTARA KONTEN DAN MEDIA ?
Muncul golongan yang suka gembar-gembor tahlilan adalah bid’ah, muhdats, dan lain sebagainya. Tahlilan adalah sebuah kegiatan doa bersama yang memiliki esensi taqarrub ilallah dan silaturrahim dengan tujuan utama mendoakan para pendahulu. Kegiatan keagamaan yang dibalut semangat kebersamaan ini masih eksis ditengah-tengah lunturnya jiwa sosial bangsa ini yang pernah menjargonkan “masyarakat gotong-royong”. Tahlilan kini digempur dengan tuduhan bid’ah dan kegiatan sesat dengan dalih tidak pernah dilakukan Rasulullah Saw.
Coba kita tengok lagi definisinya. Tahlil adalah bentuk mashdar dari lafadz “ hallala-yuhallilu-tahlilan” yang berarti membaca kalimat laailaahaillallah. Tidak berhenti dari situ, tahlilan secara istilah urfy (urf’) adalah rangkaian do’a untuk orang yang meninggal berupa bacaan al-fatihah, al-falaq, an-nas, tasbih, hamdalah, hauqalah, dan sholawat kepada kanjeng Nabi Muhammad Saw. Di dalam acara tersebut mengandung banyak hal yang positif, seperti: majelis ta’lim, sedekah memberi makan para hadirin, dll. Perlu diketahui mengenai sedekah! Tuduhan yang sering dilontarkan salah satunya adalah “seharusnya orang yang takziyah bersedekah pada rumah duka, bukan sebaliknya”. Ini adalah tuduhan konyol tanpa dasar ilmu.
Acara tahlilan berdeda dengan ta’ziyah. Takziyah adalah kunjungan bela sungkawa ke rumah duka. Sedangkan tahlilan adalah acara doa bersama. Takziyah sampai 3 hari namun tahlilan bisa 7 hari dan seterusnya. Masyarakat Indonesia tetap takziyah serta membawa sedekah untuk belasungkawa yang umumnya dilakukan pada siang hari. Kemudian rumah duka pada malamnya mengundang tetangga untuk doa bersama, dan disitu tuan rumah bersedekah menjamu tamu semampunya (makan, minum, terkadang hanya segelas air mineral) sekaligus diniatkan sedekah atas nama almarhum.
Sekarang coba kita telisik secara ilmiyah. Ada statement yang berkembang bahwa Rasulullah tak pernah melakukan tahlilan bahkan saat istri beliau sayyidah khadijah. Benar memang Rasulullah tidak melakukan tahlilan (sebagaimana umat Islam Indonesia). Namun secara implisit, perinciannya diperbolehkan. Diantaranya :
Doa; sampainya do’a keluarga dan orang lain kepada mayyit
وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالإيمَانِ وَلا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
Artinya : “Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Ansar), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang”. (QS. Al Hasyr: 10).
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ . رواه مسلم
Artinya : “Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau do’a anak yang sholeh” (HR. Muslim)
اللّهُمّ اغْفِرْ لِأهْلِ بَقِيْعِ الغَرْقَد (رواه مسلم)
Artinya : “Ya Allah ampunilah bagi orang-orang yang dimakamkan di Baqi’ al-Gharqad” (HR. Muslim)
اللّهُمّ اغْفِرْ لِحَيّنَا وَمَيّتِنَا (رواه الترمذي)
Artinya:“Ya Allah ampuni bagi orang-orang yang masih hidup dan orang-orang yang telah meninggal di antara kami” (HR. At-Tirmidzi)
عن عبادة بن الصامت، قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: من استغفر للمؤمنين والمؤمنات كتب الله له بكل مؤمن ومؤمنة حسنة . رواه الطبراني . زاد في رواية : الأحياء منهم والأموات
Artinya : “dari Ubadah Bin shamit, berkata : aku mendengar Rasulullah Saw. bersabda : barang siapa memiontakan ampunan untuk mu’minin dan mukminat maka Allah catat kebaikan dengan sejumlah mu’minin dan mu’minat”. (HR. Thabarani). Dalam suatu riwayat ia menambahkan “baik mereka yang masih hidup dan yang sudah meninggal”.
Kalimat Thayyibah; sampainya pahala bacaan kepada mayyit
عَنْ سَيِّدِنَا مَعْقَلْ بِنْ يَسَارْ رَضِيَ الله عَنْهُ اَنَّ رَسُولَ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّم قَالَ : يس قَلْبُ اْلقُرْانْ لاَ يَقرَؤُهَا رَجُلٌ يُرِيْدُ اللهَ وَالدَّارَ اْلاَخِرَة اِلاَّ غَفَرَ اللهُ لَهُ اِقْرَؤُهَا عَلَى مَوْتَاكُمْ )رَوَاهُ اَبُوْ دَاوُدْ, اِبْنُ مَاجَهْ, اَلنِّسَائِى, اَحْمَدْ, اَلْحَكِيْم, اَلْبَغَوِىْ, اِبْنُ اَبِىْ شَيْبَةْ, اَلطَّبْرَانِىْ, اَلْبَيْهَقِىْ, وَابْنُ حِبَانْ
Artinya : “Dari sahabat Ma’qal bin Yasar r.a. bahwa Rasulallah s.a.w. bersabda : surat Yasin adalah pokok dari al-Qur’an, tidak dibaca oleh seseorang yang mengharap ridha Allah kecuali diampuni dosa-dosanya. Bacakanlah surat Yasin kepada orang-orang yang meninggal dunia di antara kalian”. (H.R. Abu Dawud)
Abul Walid Ibnu Rusyd juga mengatakan:
وَاِن قرَأَ الرَّجُلُ وَاَهْدَى ثوَابَ قِرَأتِهِ لِلْمَيِّتِ جَازَ ذالِكَ وَحَصَلَ لِلْمَيِّتِ اَجْرُهُ
Artinya : “Seseorang yang membaca ayat al-Qur’an dan menghadiahkan pahalanya kepada mayit, maka pahala tersebut bisa sampai kepada mayit tersebut.”
Sedekah; sampainya pahala sedekah atas nama mayyit
أَنَّ سَعْدَ بْنَ عُبَادَةَ – رضى الله عنه – تُوُفِّيَتْ أُمُّهُ وَهْوَ غَائِبٌ عَنْهَا ، فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أُمِّى تُوُفِّيَتْ وَأَنَا غَائِبٌ عَنْهَا ، أَيَنْفَعُهَا شَىْءٌ إِنْ تَصَدَّقْتُ بِهِ عَنْهَا قَالَ « نَعَمْ » . قَالَ فَإِنِّى أُشْهِدُكَ أَنَّ حَائِطِى الْمِخْرَافَ صَدَقَةٌ عَلَيْهَا . رواه البخاري
Artinya : “Sesungguhnya Ibu dari Sa’ad bin Ubadah radhiyallahu ‘anhu meninggal dunia, sedangkan Sa’ad pada saat itu tidak berada di sampingnya. Kemudian Sa’ad mengatakan, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah meninggal, sedangkan aku pada saat itu tidak berada di sampingnya. Apakah bermanfaat jika aku menyedekahkan sesuatu untuknya?’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Iya, bermanfaat.’ Kemudian Sa’ad mengatakan pada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Kalau begitu aku bersaksi padamu bahwa kebun yang siap berbuah ini aku sedekahkan untuknya’.” (HR. Bukhari).
Ibnu Taimiyah pun mengatakan dalam Majmu’ Al Fatawa bahwa, Sedekah untuk mayit akan bermanfaat baginya berdasarkan kesepakatan (ijma’) kaum muslimin.
Adat dan budaya; membiasakan suatu amalan.
عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْتِي مَسْجِدَ قُبَاءٍ كُلَّ سَبْتٍ مَاشِيًا وَرَاكِبًا وَكَانَ عَبْدُ اللهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ يَفْعَلُهُ. رواه البخاري
Artinya : “Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam selalu mendatangi Masjid Quba’ setap hari sabtu, dengan berjalan kaki dan berkendaraan.” Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu juga selalu melakukannya. (HR. al-Bukhari.).
Konten atau isi dari kegiatan tahlilan adalah amal kebaikan dan tidak ada yang menyalahi syariat. Dan sebenarnya kita tau bahwa dalam kaidah ushul fiqh di jelaskan :
التَرْكُ لا يدُل على المَنْع
Artinya : “Sesuatu yang di tinggalkan rasulullah saw. Bukan berarti menunjukkan pelarangan”
Kaidah di atas bukan kaidah belaka, namun berdasarkan dalil-dalil yang bisa di pertanggungjawabkan, diantara dalil tersebut adalah firman Allah :
… وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا …
Artinya : “… Apa saja yang di datangkan rasul kapadamu, maka ambillah dia dan apa saja yang kamu di larang daripadanya maka berhentilah (mengerjakannya) … ”. (QS. Al-Hasyr: 07)
Ayat di atas menjelaskan bahwa sesuatu itu di larang jika telah jelas dalil yang melarangnya, sekarang, tidak ada satu-pun dalil yang melarang tahlilan bahkan malah-malah tahlilan merupakan suatu kegiatan yang positif karena di dalamnya terkandung beberapa dzikir yang telah datang dari Rasulullah. Apalagi shalawat kepada kanjeng Nabi, sekarang siapa yang berani mengingkarinya?
Dari sini, seseorang perlu belajar membedakan mana konten mana media, mana isi dan mana bungkus, mana ibadah dan mana bentuk kegiatannya. Tahlil dan tahlilan sama halnya dengan sholawat dan sholawatan. Dalam shalawatan, “shalawat” adalah konten (isi) dan “shalawatan” adalah bentuk kegiatannya. Begitu pula dengan tahlilan, Tahlil” adalah konten (isi) aktifitas, sedangkan “tahlilan” sebagai Media kegiatan (wadah pelaksanaan)nya. Dengan melihat tahlilan adalah kegiatan seseorang membaca tahlil, sangat-lah salah orang yang mengatakan bahwa tahlilan adalah hal baru (bid’ah) karena aktifitas membaca “laailaahaillallaah” (tahlilan) sudah ada pada zaman dahulu. Dan bentuk kegiatan dengan konten-konten yang baik tidaklah menyalahi syariat.. Wallahu a’lam bis showab.
Oleh : Fahis Nur Rahman
Editor : Ahmad Muhammad Naseh