JIHAD DAMAI ISLAM (Berdamai Sesama Manusia, Merangkul Sesama Muslim)

Banyak pemahaman salah yang beredar tentang Islam. Salah satunya menggambarkan Islam sebagai agama kekerasan, pemaksaan, dan peperangan. Imbasnya, setiap orang yang enggan ber-Islam halal ditumpahkan darahnya dan dihancurkan harta serta kehormatannya. Dengan paradigma seperti itu, jihad diartikan sebagai sarana yang melegalkan teror, membunuh, dan menyebarluaskan ketakutan. Kelompok yang berprinsip demikian beranggapan bahwa ideologi mereka adalah ideologi yang benar, terlebih didasarkan pada kisah-kisah, cerita-cerita dan riwayat-riwayat yang mendukung nafsu mereka. Yang lebih menjengkelkan lagi, mereka menklaim bahwa itulah Islam yang sebenarnya dengan membawa ambisi “risalah” untuk semua umat dan melalaikan “rahmat” untuk alam semesta.

Demi Allah, Islam tidak sebengis itu. Ajaran yang dibawa Rasulullah jauh lebih Indah dari “keindahan” itu sendiri. Islam sangat menjunjung tinggi kemanusiaan dan lebih memanusiakan manusia dari pada menusia itu sendiri. dakwah dengan cara kedamaian menempati posisi tertinggi dalam agama Islam dan merupakan maqhasidus syaria’ah yang mulia. Allah berfirman :
… وَكِتَابٌ مُبِينٌ (15) يَهْدِي بِهِ اللَّهُ مَنِ اتَّبَعَ رِضْوَانَهُ سُبُلَ السَّلَامِ وَيُخْرِجُهُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ بِإِذْنِهِ وَيَهْدِيهِمْ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ (16) [المائدة/15، 16]
Artinya:” … Dengan kitab itulah, Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya kejalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus”. (QS. al-Maidah [5]: 15-16).
Oleh sebab itu, perlu kiranya memahami sikap damai Islam untuk menjawab pemahaman anarkis tersebut.
Pertama, “Sikap damai Islam terhadap non Muslim”. Islam yang salah satunya terbentuk dari kata salam yang berarti “kedamaian”. Kita dapati dalam Al-Qur’an, lafadz “as-salam” (kedamaian) dan lafadz-lafadz yang tercetak darinya terdapat lebih dari 133 ayat. Sedangkan lafadz “harb” (perang) tidak lebih dari enam ayat saja. Allah Sendiri memilik nama as-salaam dalam asmaul husna. Allah berfirman:

هُوَ اللَّهُ الَّذِي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْمَلِكُ الْقُدُّوسُ السَّلَامُ الْمُؤْمِنُ الْمُهَيْمِنُ … (23) [الحشر/23]

Artinya:” Dialah Allah yang tiada tuhan selain dia, raja, yang maha suci, yang maha sejahtera, yang maha mengaruniakan kemanan, yang maha memelihara, …”. (QS. al-Hasyr [59]: 23).
Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya Islam adalah agama damai. Rasulullah sendiri telah banyak mencontohkan abagaimana akhlak beliau, bahkan terhadap yang bukan muslim sebagaimana kisah yahudi diujung pasar yang merindukan suapan Nabi ini. Karena sejatinya Rasulullah diutus untuk menyempurnakan budi pekerti (liutammima makaarima al-akhlaq) dan menjadi rahmat bagi Alam semesta (rahmatan lil ‘alamiina), lantas kenapa para pengikutnya menjadi anarkis?
Sedangkan peperangan yang dilakukan oleh Rasulullah dan Para sahabat tidak lain merupakan bentuk mempertahankan diri dan Agama Allah. Itupun ketika sudah tidak ada cara non-kekerasan yang dapat dilakukan. Al-Tabari menafsirkan QS 22:39 dengan “sebab tertindas”. Al-Zamakhsyari menyatakan bahwa saat orang musyrik menyakiti Nabi dan muslimin, Nabi mengatakan “Sabarlah! Aku belum diperintahkan untuk pergi berperang”. al-Zamakhsyari dan al-Razi menegaskan bahwa perang baru diizinkan setelah diturunkannya tujuh puluh ayat yang melarang hal ini. Ibn Zayd mengatakan bahwa kebolehan ini diberikan setelah Nabi dan para sahabatnya (bertahan) memaafkan segala perlakuan kaum musyrik selama sepuluh tahun.
Kedua, “Sikap damai Islam diantara sesama muslim”. Pernahkan kita menghayati Ucapan salam yang haturkan pada Nabi, para Shalihin dan kita semua dalam Tasyahud, dan ucapan salam dipenghujung shalat. “السَّلاَمُ عَلَيْكَ أيُّهاَ النَّبِيُّ ، السَّلاَمُ عَلَيْناَ وَعَلَى عِباَدِ اللهِ الصَّالِحِيْنَ ، السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ …”. Kata salam tersebut selain berarti kedamaian juga memiliki arti penghormatan pada nabi dan do’a keselamatan untuk kita semua. Salam sesama muslim juga memiliki esensi bahwa “kamu selamat (aman) atas kedatanganku”. Artinya, bila seseorang mengucapkan salam, dia memberikan kepastian bahwa dia datang dengan damai dan menjamin keamanan temannya. Rasulullah sering bertutur tentang persaudaraan sesama muslim (ukhuwah islamiyyah). Diantarannya :

الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لَا يَظْلِمُهُ وَلَا يُسْلِمُهُ

Artinya : “Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya, tidak menzhalimi atau mencelakakannya.” (HR. Bukhari Muslim)

المُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِم لَا يَخُوْنُه وَلَا يَكْذِبُهُ وَلَا يَخْذُلُهُ، كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ عِرْضُهُ وَمَالُهُ وَدَمُهُ

Artinya : “Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim yang lain. Ia tidak mengkhianati, tidak mendustai, juga tidak enggan memberikan pertolongan padanya bila diperlukan. Setiap Muslim terhadap Muslim lainnya itu adalah haram kehormatannya, hartanya dan haram darahnya.” (HR. Tirmidzi)

وكُونُوا عِبادَ الله إِخْواناً

Artinya : “Dan jadilah Kalian Semuan hamba Allah yang bersaudara” (HR. Muslim)
Dengan demikian, sudah jelas betapa kuatnya persaudaraan sesama muslim. Sikap toleransi seharusnya diprioritaskan diatas pluraritas dan kemajemukan. Kalau bisa berdamai dengan non muslim kenapa tidak bisa terhadap sesama muslim. Mudah mengkafirkan, memvonis syirik dibalik jargon tauhid, menuduh bid’ah dibalik slogan sunnah bukanlah sifat seorang muslim yang baik. As-Suyuthi menyatakan bahwa :

لا ينكر المختلف فيه وإنما ينكر المجمع عليه

Artinya : “tidak boleh mengingkari suatu hukum yang mukhalaf fih melainkan hanya boleh mengingkari hukum mujma’ alaih”.
Kita harus menghormati ragamnya pendapat. Kaidah diatas mengajarkan bahwa hukum yang didalamnya terdapat perpedaan pendapat, maka kita tak perlu mempersoalkan. Berdeda apabila seseorang melakukan hal yang menyalahi kesepakatan ulama’, maka kita harus menentangnya. Al-Khatib Al-Baghdadi mengatakan: “Jika kalian melihat seseorang melakukan amalan yang itu diperselisihkan sedangkan engkau berpendapat lain (dari amalan itu) maka jangan engkau larang ia”. Imam Syafi’i mengatakan :

رأيي صواب يحتمل الخطأ.. ورأي غيري خطأ يحتمل الصواب

Artinya : “pendapatku adalah benar yang mengandung kemungkinan salah, sedangkan pendapat orang lain selain aku adalah salah yang mengandung kemungkinan benar.”
Dari sini sudah sangat nampak bahwa hakikat agama Islam selalu mengajarkan menebar perdamaian dan persaudaraan, bukan peperangan dan permusuhan. jika dahulu sebelum Indonesia belum merdeka, jihad diartikan sebagai pertumpahan darah, terenggutnya nyawa dan menyebabkan menetesnya air mata untuk mempertahankan martabah kemanuasian, bangsa, dan agama. maka saat ini jihad harus diartikan sebagai bentuk tindakan yang memberi keamanan kepada sesama, menjaga nyawa manusia dan menyebabkan orang disekitarnya tersenyum. Berdamai sesama manusia, merangkul sesama muslim.

Oleh: Ahmad Fathoni

Tinggalkan Balasan

WP Facebook Auto Publish Powered By : XYZScripts.com