Hari Santri Nasional

Membayangkan Santri tempo doeloe, seperti yang digambarkan para sepuh serasa mengasikkan. Dengan memanggul kantong dipundak beralas kaki gapyak (sandal yang terbuat dari kayu) dan berjalan kaki menuju Pondok. Sedang jarak tempuh yang ditempuh bisa ratusan kilo meter. Tak ayal kadangpun nunut naik pegon (kendaraan angkut yang ditarik menggunakan sapi) jika kebetulan arahnya satu tujuan dan pemiliknya merestui. Sehingga berangkat mondok rasanya bagaikan berangkat perang, dimungkinkan bisa balik kekampung halaman lagi namun juga dimungkinkan tidak. Dan memang santri doeloe banyak yang tidak balik kerumahnya lagi, lantaran biasanya kalau sudah alim maka ditempatkan oleh Kyai disuatu tempat agar berjuang ditempat baru tersebut dan dikawinkan penduduk setempat.
Dalam situasi yang serba terbatas itulah Santri ditempa dan hasilnya luar biasa.
_______________________________________
Saat aku mondok.
Aku tidak pernah berangkat mondok dengan membawa kantong apalagi jalan kaki, itu semua sudah menjadi bagaian cerita masa lampau. Bahkan seorang teman yang kebetulan satu kamar denganku, suatu saat berangkat kepondok dibekali sekantong beras oleh ibunya. Sesampai diterminal Bangsri Jepara dijual beras tersebut kesebuah toko.
Sesampai dipondok Sarang dia cerita kesaya: “aku mau digawani beras karo Ibuk, tekan terminal tak lempit dadi duwit, iso di lebokke sak”.
Dan sekarang temanku ini sudah menjadi DPR Pusat. Sehingga sehari hari dia hidup di Jakarta. Mungkin sudah lupa kalau dulu pernah jual beras.
________________________________________
Mondokke Anak.
Alih alih membekali anak dengan membawa kantong, sudah sangat tidak mungkin. Karena apa? Sebelum berangkat anakku yang sudah melewati usia 17 tahun aku bukakan rekening ke BRI. Sehingga berangkat mondok tinggal membawa ATM. Praktis. Sehingga suatu saat, ketika jagong santai dengan anak anak aku ceritakan kalau mbah mbah dahulu kalau mondok membawa kantong, sampaian mau saya bekali dengan menggunakan kantong?. Jawab anakku: “Kalau kantong Doraemon mau Pak”.
Waduuuuh…….
__________________________________________
Dari tiga generasi yang aku ceritakan menunjukkan, bahwa lingkaran yang mengitari dalam kehidupan pesantren dari tahun ketahun bisa berbeda tapi materi yang dipelajari sebagai ruh kehidupan Santri tetap tidak bergeser. Baik Mbah Mbah dulu ataupun saat aku sendiri dipesantren bahkan sampai anakku hari ini, kalau belajar Nahwu ya Jurumiyah, Imriti kemudian alfiah. Kalau fiqh, ya Taqrib kemudian syarahnya yaitu fathal qorib, kemudian naik lagi fathal muin dan wahab. Sedang yang sudah senior maka mengaji tashowuf: Ihya Ulumiddin. Tidak ada perubahan, bahkan metode yang dipakai juga tidak berubah, yaitu “utawi iki iku” dan seterusnya.
Artinya komponen utama dalam pesantren memang harus tetap dijaga sebagai identitas resmi Pesantren yang tafaqquh fiddin. Namun farian yang mengitarinya harus disesuaikan dengan kebutuhan zamanya agar Santri tidak frigid dalam bermasarakat.
SALAM HARI SANTRI.
oleh: KH. Khoiruzzad Maddah

Tinggalkan Balasan

WP Facebook Auto Publish Powered By : XYZScripts.com